CURCOL

Curcol (20) fenomena (20) Fiksi (9) Opini (19)

Senin, 24 Desember 2012

Kisah Natal


Sedari saya kecil, saya sudah tahu kalau Santa Klaus itu nggak ada. Karena ini Indonesia. Santa Klaus kan kendaraannya kereta salju. Lah, mana mungkin lewat & mampir di Indonesia? Apalagi di Jakarta. Tapi ada satu hal yang saya sangat percaya, bahwa tiap Natal ada tradisi tukeran kado. Keyakinan saya makin bertambah, kalau Natal itu adalah waktunya mendapat hadiah dan memberikan hadiah pada orang-orang yang kita sayangi (di luar hari ulang tahun), karena lihat Film-film di TV dan dari buku-buku cerita seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, atau Trio Detektif yang saya baca.

Saya juga senang membayangkan menghias pohon natal, menaruh ornamen dan lampu-lampu kecil serta kapas-kapas di kaki pohon, yang menggambarkan bahwa itu salju. Lalu kado-kado tersebut bertumpuk di kaki pohon cemara hias. Namun khayalan saya suka terganggu dengan berjuta tanya, kenpa harus ada kapas yang menggambarkan seolah itu salju? Kenapa pohon cemara, bukan pohon yang lain? Nabi Isa A.S di lahirkan di Yerussalam, yang merupakan tanah arab, dan di sana tidak ada salju dan tidak ada pohon cemara. Berarti yang d hias mungkin harusnya pohon kurma? Dan di kaki pohon kurma harusnya di taburkan serutan kayu, seolah itu pasir. Bukankah tanah arab berupa padang pasir?

Saya juga suka berkhayal, bahwa Natal itu waktunya berkumpul seluruh keluarga, berdo'a bersama di tengah malam, dan berangkat ke Gereja bersama-sama pula, lalu besok paginya adalah waktu nya buka kado bersama, melihat hadiah apa yang kita dapat dari keluarga daaaan makan-makan tentu ^^,

Empat Tahun lalu, semuanya terwujud dan sekaligus merasakan bahwa apa yang saya bayangkan ternyataaaa , pada kenyataannya, -apalah namanya - TIDAK SEPERTI ITU. Tahun 2006, tepat di usia pertama anak saya, kami sekeluarga terbang ke Balikpapan, untuk merayakan Natal. Saya sudah membayangkan akan sibuk membungkus kado, doa , ke gereja, buka kado, dan makan bersama.

Tapi ...

Mama & Bapak mertua saya, ternyata beda agama. Mama Protestan, Bapak Katolik. Jadi saat Misa, Gereja mereka terpisah, meskipun di jam yang sama. Mereka memilih sore. Tapi kenapa kakak Ipar ku santai-santai aja?
"Besok pagi saja, yang jam 9, repot bawa anak kecil" jawab Kakak ipar saat saya  bertanya.
Dan adik ipar saya, sore itu tidak nampak di rumah. "oh, Dia nanti yang jam 12 malam, bareng muda mudi yang lain" jelas kakak ipar lagi. Sayamemandangi suami. Dia cuma senyam senyum. "Ya emang gitu" jawab Suami, seolah tahu apa yang saya fikirkan. Dan, tidak ada hadiah, tidak ada kado-kado ....

Sambil duduk, memandangi cemara Plastik yang usianya mungkin sudah 6 tahunan, aku seolah me REWIND semua bayangan tentang NATAL. 

Santa Klaus, Salju ... itu terjadi selama ber abad-abad karena budaya Eropa, secara perkembangan agama Nasrani pesat di Eropa. Tuker Kado . Yaaaa, itu memang mungkin terjadi, tapi di Film & di Novel anak-anak. Mungkin ada keluarga yang punya tradisi itu, saya tidak tahu, tapi yang pasti tidak di keluarga kami. Ke gereja bersama ... kalo saja waktu itu Mama sudah masuk Katholik, akan satu gereja dengan Bapak, dan Adik ipar pastinya memilih waktu ke Gereja yang jemaat nya seumuran (males kali yeee, bareng sama oma-oma dan opa-opa), sedangkan kakak ipar memilih waktu ke Gereja yang di sesuaikan dengan waktu semangatnya anaknya, yakni pagi.

Waktu saya kecil, jangankan bertandang saat Natal, mengucapkan Selamat Natal pun dilarang. Bersekolah di tempat yang gurunya sangat menafikan agama lain, terutama nasrani, membuat saya buta tentang semua nya, dan saya anggap tabu untuk bertanya. 

Tapi kini, bagi saya Natal sama saja dengan Idul Fitri . Sebuah hari yang suci bagi yang meyakininya, hari pengampunan bagi penganut nya, hari kembali Fitrah bagi umatnya dan hari saling memberi dan menerima Maaf di kudusnya Natal. Bukan soal Kado, bukan perkara Santa Klaus, bukan tentang salju.


SELAMAT HARI NATAL 



Meruya Utara, 2010

Sabtu, 22 Desember 2012

Bukan hari untuk ku


Siang itu sepulang sekolahnya, seperti biasa Umi terlihat sangat sibuk. Memeriksa buku-bukunya, mengecek tulisan dan tugas-tugasnya, dan tidak lupa melontarkan pertanyaan yang sama setiap harinya, “Ada PR nggak? Ibu guru bilang apa?”.

Acuh tak acuh, bocah lelaki 7 tahun itu hanya menjawab sambil mengangkat bahunya, “Nggak taaaau”.

Umi terlihat gusar. Sudah hampir enam bulan di kelas satu sekolah dasar, Darrel belum juga bisa diandalkan dalam menyampaikan pesan. Umi kemudian terlihat fokus pada ponselnya. Dikirimnya pesan pendek ke nomer Mama Alya, orang tua murid teman sekelas Darrel. Beberapa saat kemudian balasan muncul di layar Ponsel Umi. Ada PR, di buku tematik, halaman 30-31. Lalu Bahasa Inggris halaman 19.

Ada kelegaan di wajah Umi, kemudian Umi mengganti pakaian Darrel dan menyuapinya makan.

“Habis makan, istirahat sebentar, terus kerjakan PR ya?”

Darrel mengangguk.

“Habis ngerjain PR?” tanyanya.

“Bobo siang, baru boleh main.”

Darrel mengangguk lagi.

Umi beberapa kali mengeluh tegang mengahadapi Darrel, khawatir kalau-kalau Darrel tidak mampu mengikuti pelajaran, mengingat secara usia, Darrel memang belum waktunya masuk SD. Apalagi sebulan pertama, Ibu Guru Tarsilah wali kelas 1A mengatakan, Darrel termasuk 10 besar terbawah. 

Belum lagi didapati beberapa tugas yang harusnya diselesaikan di kelas dan dapat nilai, tidak ada dalam buku Darrel. Sekali dua kali, Umi mendatangi Ibu Guru Tarsilah untuk meminta nilai, tapi kemudian Ibu Guru tidak mau memberikannya, “Biar anaknya yang minta sendiri, belajar berani”. Kalau sudah begini, Umi biasanya uring-uringan sendiri.

Bila saatnya UTS dan UAS, Umi akan berpuasa, agar Darrel lancar menjalankan ujiannya. Umi juga memberi peraturan tegas pada Darrel, tidak ada nonton televis selama ujian. Buat Darrel sendiri, segala bentuk aturan yang diberikan padanya, acap kali ditentang. Bila sudah begini, biasanya Umi dan Darrel akan melangsungkan aksi saling diam.

Kemarin, penerimaan raport. Nilai Darrel sungguh melebihi harapan. Angka 8 dan 9 menghiasi kolom-kolom mata pelajaran. Walau tidak rangking, Darrel masuk kategori 10 besar DARI ATAS!

Menerima kabar itu, aku hanya bisa menitikan air mata. Haru, bahagia, dan malu. Darrel berhasil, bukan karerena aku Ibu nya. Darrel bisa, bukan karena Mominya. Aku orang tuanya, tidak berandil besar. Ini semua berkat Umi, neneknya.

Jikalah hari ini merupakan hari Ibu, rasanya belum pantas Darrel mengucapkannya untuk ku. Karena sebagai Ibu, aku bukanlah seperti Ibu yang di maksud dalam filosofi Hari Ibu. “Ibu” selama 7 tahun usia Darrel, sesungguhnya adalah milik Umi, neneknya.

Terima kasih Umi, telah menjadi Ibu bagi aku dan cucu mu. Maafkan Momi, Darrel – belum sempurna menjadi Ibumu sampai hari ini.






Meruya Utara, 22 Desember 2012


Jumat, 09 November 2012

BEBAS: Adakah?

Apakah benar-benar ada yang namanya bebas? Ketika hidup ada tujuan dan memiliki aturan, masih bolehkah disebut bebas? Menjadi diri sendiri akankah disebut bebas, sementara ada banyak orang disekitar yang tidak mungkin diabaikan? Seperti  Anak, suami, orang tua dan sahabat.

Benarkah terbang seperti burung bisa dibilang bebas? Sementara sayapnya pun tetap punya rasa lelah, dan akhirnya ia akan kembali ke sarang.

“Bebas itu menjalani hidup secara sekuler,  tidak mencampur adukan aturan agama dengan aturan kehidupan.Tetapi ada satu hal yang mengikat yaitu budaya. Jadi bebas itu artinya boleh bukan bisa.” Itu komentar follower saya

Saat pintu kehidupan lain kelak kita lewati, ternyata tetap ada pertanggungjawaban yang tidak mungkin dibebaskan oleh NYA. Perbuatan kita.

Don’t Judge A Book By its Cover

Namanya Wijana. Tutur katanya luar biasa. Baik lisan, maupun tulisan. Siapapun yang mendengar dia bicara, pasti membuat sekelilingnya akan terpancing untuk berkomentar.  Hiruk pikuk dan ramai, diakhiri dengan bertengkar. Sementara di sudut ruang, Wijana akan terpingkal dan bertepuk tangan sendirian.

Wijana kompor. Entah siapa yang memulai memberinya julukan itu. Karena memang hampir semua yang terucap dari bibirnya, mengandung provokasi. Kompor merupakan istilah konotasi , karena panas dan kerap meledak mengakibatkan kebakaran.

Wijana kompor si provokator. Pagi tadi aku duduk di hadapannya dengan secangkir teh. Tanpa rencana aku singgah di rumahnya karena hujan. Tiga jam waktu yang cukup membuat ku menyimpulkan, kutipan Don’t Judge A Book By its Cover itu bukan sekedar ucapan.

Kamis, 08 November 2012

Dari Balik Jendela

Police line membentang disepanjang jalan masuk rumah Tuan Carel. Polisi dan anjing pelacak sibuk menyusuri tiap jengkal halaman. Tuan Carel duduk sambil memeluk Yosephine, putri semata wayangnya yang baru duduk di bangku SMP. Rumah mereka baru saja terjadi musibah. Perampokan dan pembunuhan terhadap Nyonya Carel.

Menjelang tidur, Tuan Carel memeluk putrinya sambil menangis,

“Mari Nak, kita berdoa untuk Mami di surga, semoga Mami tenang di sana. Papi mencintai Mami mu, Yosephine. Andai Papi bisa tukar tempat dengan Mami.”

Dalam kegelapan, Yosephine mengelus belati di bawah bantalnya. Terbayang pagi tadi ia menyaksikan dari balik jendela kamar, Tuan Carel menampar Nyonya Carel dan merebut perhiasan lalu pergi. Papi akan menyusul Mami malam ini.

Pintu Belakang

Mencari rumah sewa petakan yang memiliki dua pintu, bukan perkara mudah. Kami sudah menyusuri tiap gang dan perkampungan, tidak ada kontrakan letter  i seperti itu. Namun istriku tetap ngotot, mau rumah yang ada pintu depan dan belakang

“Karena rumah bukan kaleng biskuit” alasan istri ku

Setelah mencari selama seminggu, akhirnya kami menemukan rumah yang dimaksud, walaupun harganya melebihi dari anggaran, tetap kami sewa. Yang penting istri ku senang.

Dinihari itu aku terbangun dengan dada sesak. Asap memenuhi ruangan. Istri ku tampak lemas. Terdengar jendela pecah dilempar batu. Api tengah melalap ruang depan. Dengan sisa tenaga, ku papah istri ku berjalan keluar lewat pintu dapur. Para tetangga sigap menolong. Kami selamat. Pingsan

Selasa, 06 November 2012

Kursi Indy


Tinggal dirumah kontrakan petakan, mau tak mau membuat ku hapal kebiasaan tetangga kanan kiri. Seperti halnya Mbak Iput, yang mendudukan Indy di kursi plastik depan pintu selagi ia bebenah rumah 


Pagi ini aku terkejut karena Indy merangkak nyaris masuk selokan kecil. Buru-buru ku gendong Indy sambil teriak. Mbak Iput keluar dan memeluk Indy. Kulihat lebam dibawah matanya. 


“Kursinya patah. Terima kasih ya?”


Aku paham. Tanpa penjelasan lebih lanjut, ku ambil Indy dari gendongan Mbak Iput


“Biar saya yang jaga, Mbak”


Setahun berlalu. Kini Indy tak perlu kursi lagi, karena ada aku yang menjaganya. Walau kadang kepayahan tapi aku senang, sebab Indy akan punya teman, yang selama sembilan tahun sudah kami tunggu

Ampas Kopi


Mazaya membuka ramalan tentang kekasih barunya melalui kopi. Kosong. Ia meneliti sekali lagi ampas kopi didalam cangkir. Tetap kosong, tidak ada lambang apapun yang bisa diartikannya. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. 


Dengan sabar Mazaya meladeni Boma bermain mobil-mobilan. Mulut Boma sibuk menirukan suara mainan yang dipegangnya. Tiba-tiba mobilan itu dilempar Boma penuh amarah. Boma menangis. Mazaya sontak memeluk dan menenangkan Boma, sampai kemudian Boma dituntun Mamanya masuk kamar.  Mazaya menitikan air mata


Sebulan lalu, sepulangnya mereka dari nonton, Boma kekasih baru Mazaya terserang stroke dan mengalami Alzheimer. Memori Boma hilang, kecuali saat ia masih Balita. Boma tak pernah lagi ingat Mazaya. Itulah mengapa Mazaya tidak bisa melihat Boma pada ampas kopinya

Rabu, 24 Oktober 2012

Kelas Tiga

Rabu dinihari, 01.25

“Usahakan yang kelas VIP ya, mbak” , desak seorang wanita berkulit kuning langsat, dan berlensa kontak biru, pada bagian pendaftaran pasien rawat inap di sebuah rumah sakit

“Maaf Ibu, tapi menurut data kami, sisa yang kelas tiga saja” Jawab petugas bernama Marsya ramah

”Aduuuh, gimana sih? VVIP atau yang paling mahal kek, berapapun saya bayar!”

“Maaf Ibu, bukan kami tidak kasih, tapi memang tersisa kelas tiga saja, hari ini memang sedang full pasien. Atau begini, nanti begitu ada kamar, langsung kami pindahkan ke VIP. Bagaimana?”

Wajah wanita itu tampak kesal. Tapi ia tidak punya pilihan

“Baik, tapi tolong kasih saya urutan teratas, dalam daftar tunggu kalau ada yang kosong, langsung pindahkan suami saya“

“Baik, Bu. Pasti. Ini mohon tanda tangani dulu dan bayar depositonya “

Wanita itu membubuhkan tanda tangannya . Ghita Prameswari. Lalu menyerahkan sejumlah uang sesuai pada perjanjian yang tertera.

Ghita kemudian menuju ruang Instalasi Gawat darurat, tempat suaminya sementara di rawat. Ghita melihat suaminya terkulai, dengan wajah putih pucat

“Bagaimana Dok, kondisinya?” Tanya Ghita pada Dokter jaga IGD

“Nyaris saja Bu, untung ibu segera membawa kesini. Obat penenang yang sebelum-sebelumnya dikonsumsi suami Ibu, rupanya sudah menolak bergabung dengan alkohol yang terakhir diminumnya. Bapak Keracunan. Telat sedikit, bisa menyerang jantungnya”

Ghita menarik napas. Wajahnya cemas.

“Sebentar lagi bisa dipindah ke ruang perawatan, dan beliau masih sangat lemah, jadi biarkan nanti langsung tidur. Terkendali kok, Bu”

Ekspresi Ghita tetap cemas

*****
Sehari sebelumnya. 05.30

“Bang, aku hamil lagi” , Wulan menatap Sutan penuh harap. Tapi tampaknya sia-sia, saat ia melihat sorot mata puas kekasihnya berubah menjadi marah

“Sial! Sudah ku bilang, kau KB lah, apa lah, dan kau tau aku nggak mau anak dari kau! Buang!”

“Aku nggak berani bang, ini udah yang ketiga” , air mata Wulan langsung banjir.

“Berapa Bulan?”

“Tiga minggu”

“Buang! Mumpung masih muda! Itu salah mu, bukan salah ku”

Wulan sesegukan. Terbayang sakitnya menggugurkan kedua janin sebelumnya. Sutan meraih dompetnya, lalu memberi 20 lembar seratus ribuan.

“Buang dan stop menangis! Itu uangnya, pergi ketempat biasa. Hubungi aku lagi nanti kalo kau sudah bersih!” Bentaknya

Wulan masih menangis, sambil meremas uang pemberian Sutan. Sutan berpakaian, kemudian pergi meninggalkan Wulan

Saat membuka pintu sedan SUV nya, ada bunyi Blackberry Messanger masuk

Joni Kalong : Bang, TKP siap, jam 10
Sutan : Siapa aja yang ikut? - R
Joni Kalong : Saya, Awer dan Rebak Bang
Sutan : Aman ya? - R
Joni Kalong : Aman, Bang
Sutan : auto text jempol gede - R
Sutan : Meluncur - R

Sutan memacu mobilnya dengan kecepatan 90-100 km/jam, jalanan masih agak lengang, ia bermaksud untuk pulang sebentar, mandi, menukar mobil, lalu menuju tempat ia membuat janji dengan si Joni Kalong.

Tiba-tiba ia merasa mobilnya menyenggol sesuatu, dan terdengar suara benturan keras. Sutan me- rem mobilnya mendadak. Kemudian berhenti. Ia turun dari mobil, sekelilingnya sepi. Beberapa meter di belakang mobilnya, ia melihat seorang pria tergeletak tidak bergerak. Sutan panik. Ia langsung masuk ke mobilnya dan melarikan diri

*****

Ghita mengikuti petugas rumah sakit yang membawa suaminya keruang perawatan. Ia lalu menarik suster yang juga berjalan disebelahnya.

“Sus, kelas tiga itu rame ya kamarnya?” Ghita bergidik

“Iya Bu, di sini kelas tiganya isi enam orang”

“Itu keisi semua?”

“Nanti kita lihat ya, Bu.’

“Saya bisa sewa jasa suster pribadi nggak, buat jagain suami saya?”

“Disini kami wajib menjaga dan merawat perkembangan pasien, Bu”

“Maksud saya, khusus buat suami saya aja, jadi yang ngurus kalo mau apa-apa, ngga berbagi sama yang lain”

Suster itu tersenyum. Macam-macam saja kelakuan orang berduit

“Ya, nanti Ibu ke bagian informasi untuk menanyakan hal itu, sepengetahuan saya sih bisa”

*****

Joni Kalong menunggu dengan gelisah. 15 menit lagi pukul sepuluh. Ia membuang rokok dan menginjaknya, begitu melihat Sutan datang, dengan minibus tanpa jendela. Awer dan Rebak sudah siap.

“Ada berapa orang di mini market itu?” Tanya Sutan begitu turun

“Cuma bertiga. Kasir satu, pelayan satu dan gudang satu” sahut Joni Kalong

“Disana menurut sumber gue, ada uang tiga ratus lima puluhan juta, dan baru mau disetor jam satu siang nanti”

Sutan mengangguk.

“Wer, lu di mobil, mesin nyala, Rebak lu jaga gudang, lo Jon pelayan, gue adepin kasir”

Sutan mengatur strategi singkat. Mereka mengangguk tanda paham. Keempatnya menggunakan penutup wajah terbuat dari stocking hitam

Perampokan mini market hampir sempurna, sebelum salakan senjata api, dan kasir mini market tersungkur bersimbah darah, bertepatan alarm tanda bahaya mini market tersebut berbunyi. Sutan, Joni Kalong dan Rebak langsung keluar dan masuk ke mobil.

Awer memacu kendaraan dengan cepat dan sigap. Di kursi belakang, Sutan mengecek Derringers-nya , kemudian mengeluarkan sisa peluru dan menyimpannya. Tidak ada yang bicara. Joni Kalong yang duduk di sebelah Sutan dan Rebak disamping Awer, nampaknya masih terkejut atas peristiwa di dalam mini market tadi.

“Lu semua kaga usah panik gitu, kenapa? Kayak rampok pemula aja. Itu orang pasti selamet, gue kan cuma nembak bahunya. Salah sendiri, sok pahlawan pake pencet alarm!”

Awer yang tadinya biasa saja karena memang tidak tahu, kini jadi tambah diam, dengan ekspresi serupa dengan kedua temannya. Untung gue bukan yang tugas di dalem

“Kalian langsung aja ke gudang, gue turun disini, sore gue nyusul. Pembagian hasil nanti”

Sutan turun dan melanjutkan perjalan selanjutnya dengan menumpang taxi. Menuju rumah istri simpanannya

*****

Ghita Prameswari akhirnya berada di ruang perawatan kelas tiga. Ia melihat–lihat ruang berukuran delapan kali tiga meter ini. Terdapat enam buah kasur dan lemari kecil, yang hanya dipisahkan dengan gorden, serta satu buah kamar mandi.

Suaminya sendiri menempati bilik nomer enam, posisi di pojok. Disebrang masih kosong. Artinya, kamar ini terisi lima orang pasien . Penyejuk ruangan tidak terasa. Mungkin karena banyak orang. Ini yang Ghita benci.

Ghita masih menunggu datangnya perawat khusus yang dipesannya, saat suara-suara para pasien mulai terdengar. Ada suara mendengung, lalu mengerang, ada yang muntah-muntah dengan suara keras, ada juga yang marah-marah tertahan. Ghita menutup kedua telinganya.

Ia gusar membayangkan berada diruangan ini dengan waktu yang belum bisa di prediksi, kapan bisa dipindah ke kelas perwatan VIP

*****

“Cukup , Mas. Aku nggak sanggup lagi kalau begini”  Ellen meraba sudut bibirnya. Pecah dan berdarah. Beberapa detik sebelumnya , Sutan baru mendaratkan tinjunya ke wajah cantik Ellen

“Gue udah bilang sama Lo, gue ngga suka lo campurin urusan gue. Gue mau ngapain, gaul sama siapa, bukan urusan lo! Bini gue aja kaga pernah protes! Gaya lu udah yang kayak bini beneran gue aja!”

Ellen berdiri lalu berkata lantang

“Aku nggak pernah minta di nikahin siri ya, aku ngga pernah nuntut kamu tinggal disini, kamu kan yang mau? Kamu yang ngejar-ngejar aku kan? Aku juga ngga perrnah nuntut macam-macam? Istri mu aja ngga tau kalo kamu yang suka gasak-gasakin mini market. Aku ngga suka kamu jadi perampok, Mas!”

Sekonyong-konyong Ellen terpental, kepalanya membentur tembok, pelipisnya robek . Sutan kalap, dia memberi bogemnya sekali lagi ke wajah Ellen

“Lo hati-hati kalo ngomong! Lu pikir semua yang lu punya dari mana, kalo bukan dari hasil rampokan gue? Cuih! Semua perempuan sama aja. Sok Suci!!”

Ellen diam tidak bergerak. Pingsan. Sutan menyambar jaket nya, lalu pergi dengan taxi, menuju gudang

Di Gudang, setelah pembagian hasil, mereka berpesta. Berbotol-botol minuman impor , lintingan ganja, dan makanan kecil berserakan di meja. Joni Kalong, Awer dan Rebak tidak berhenti tertawa.

Sutan membuka botol ketiga nya, dan menyodorkan ke teman-temannya. Istri Sutan sedang dalam perjalanan. Kebiasaan Sutan jika dalam kondisi mabuk berat, ia akan minta istrinya untuk menjemput

Isi botol tinggal sepertiga lagi. Tiba-Tiba Sutan Muntah. Sekujur tubuhnya bergetar. Mukanya pucat kebiruan, mulutnya berbusa. Ketiga temannya kaget namun tidak berdaya sama sekali. Rebak tidak bisa beranjak dari kursinya. Sedang Joni Kalong dan Awer terseok mendekati, sambil menggoyangkan tubuh Sutan

“Bang, woi elo kenapa bang ?…” Tanya Awer terbata
.
Sutan tidak bereaksi. Joni Kalong masih sempat berkata “Tolong Sutan” pada wanita didepannya, yang tak lain adalah istri Sutan. Lalu Joni ambruk ditanah. Mabuk berat.

*****

“Bapak Sutan?’ Panggil seorang perawat saat memasuki ruang perawatan kelas tiga.

“Ya, saya” sahut Ghita Prameswari sambil berdiri.

“Oh, saya Kathine Bu. Perawat yang akan menjaga khusus Bapak Sutan”

Shiit! Syukur deh, akhirnya datang juga. Ini udah sejam lebih”

“Iya, Ibu maaf. Karena hari ini sebenarnya saya Off, dan tadi dihubungi apakah saya bersedia, lalu saya langsung kesini”

“Duduk, duduk. Temani saya disini, saya tidak tahan dengar suara-suara itu, pasien yang lain. Menyebalkan. Itulah kenapa saya malas banget ada di kelas tiga. Suami saya jadi tidak bisa istirahat nanti. Kamu tahu, kapan saya dapat VIP?”

“Wah, saya kurang paham. Tapi nanti bisa saya urus update kabarnya”

“Bagus. Eh, ngomong-ngomong mereka ini siapa aja, dan kenapa?" Ghita menyapu telunjuknya kearah bilik-bilik pasien lain

Kathine mulai bercerita dengan suara pelan. Karena kemarin, saat pasien ini masuk, Kathine yang giliran jaga

“Itu yang dekat pintu masuk, perempuan. Pendarahan Hebat, karena tiga kali menggugurkan kandungannya. Dia nangis mulu dari kemarin”

“Widih! Perempuan goblok! Orang susah-susah dapet anak, ini malah di gugurin. Otak nya dikelamin sih!” – cerocos Ghita sengit.

Kathine tersenyum tak berkomentar, kemudian melanjutkan ceritanya

“Sebrangnya seorang Pria, korban perampokan, dia kena senjata api perampoknya, saat mencoba memencet alarm tanda bahaya, rupanya si perampok lihat.”

“Huuuh! Sok-sokan banget ya? Aturan udah sih, diem aja. Cari aman lah, jadi susah sendiri kan?”

“Sebelahnya, korban tabrak lari. Gegar otak. Makanya muntah-muntah mulu”

“Pasti bego nyebrangnya deh, suka sebel sama pejalan kaki tuh ya, nyebrang seenak jidatnya”

“Nah, yang disebelah ini” , Kathine makin merendahkan suaranya “Korban KDRT, dipukulin sampe pingsan sama suaminya”

“Yassalaam, kenapa jadi perempuan bego-bego amat sih? Suami macam gitu masih aja dipiara. Kalo kejadian sama saya, nggak bakalan selamet tuh lelaki!”

Tidak ada yang sadar, kapan Sutan terjaga dan ikut mendengarkan pembicaraan kedua wanita didekatnya. Ghita dan Kathine asik bercerita, sampai mereka mendengar Sutan menangis meraung seperti orang ketakutan. Sekujur tubuhnya bergetar. Suster Khatine berusaha menyadarkan sambil memencet bel bantuan perawat lain. Ghita Prameswari hanya bisa menyaksikan beberapa langkah dari tempat tidur.

Sutan sangat ketakutan, entah karena ia satu ruangan dengan dosa-dosanya atau mendengar komentar-komentar istrinya

*****

Tiga hari kemudian

Di teras sebuah villa, mengahadap taman dengan pemandangan yang cantik dari atas bukit. Hamparan sawah membentang, rumah-rumah penduduk dan asap dari cerobong-cerobong villa kecil benar-benar obat cuci mata paling mujarab

Ghita Prameswari menarik nafas, menghirup dalam-dalam udara bersih , kemudian memencet sebuah nama dari smartphone nya. Sambil menunggu telepon tersasmbung, ia membakar ujung Evolution-nya, menarik nafas lambat-lambat dan menghembuskan asapnya

“Pagi Dokter. Ini Ghita Dokter. Ada pasien baru nih. Sebenernya sih setress doang Dok, tapi saya sudah malas berusan sama begundal tengik ini ….. Iya, atur aja sama dokter ……. Alaaah, gabungin aja sama yang empat sebelumnya, biar dia merasa kalo ada gangguan jiwa juga. Hahahaha. Terima kasih Ya, Dokter. Sampai ketemu”

Ghita memutar satu buah lagu Cleopatra Stratan dari playlist smartphone -nya, yang berjudul sama dengan nama nya - Ghita . Sambil bergoyang mengikuti irama musik, dipencentnya lagi nomor terakhir dalam daftar panggilan keluar. Kirim pesan.

Sayang, sampai lupa. Aku di Villa biasa ya. Cepat datang. Kangen banget

Dr. dr. Lazuardi, SpKJ – RS Jiwa . Pesan terkirim

Ghita, te-astept diseara la portita, Langa portita de la scoala , Vino da numa nu vini *** vii tu, De obicei cu mana goala, Cine te mai asteapta ca si mine, O seara intreaga numai pe tine, Ghita, arata-mi tu o fata care, Sa te iubeasca asa de tare!




Permata Hijau, Oktober 2012