CURCOL

Curcol (20) fenomena (20) Fiksi (9) Opini (19)

Jumat, 09 November 2012

BEBAS: Adakah?

Apakah benar-benar ada yang namanya bebas? Ketika hidup ada tujuan dan memiliki aturan, masih bolehkah disebut bebas? Menjadi diri sendiri akankah disebut bebas, sementara ada banyak orang disekitar yang tidak mungkin diabaikan? Seperti  Anak, suami, orang tua dan sahabat.

Benarkah terbang seperti burung bisa dibilang bebas? Sementara sayapnya pun tetap punya rasa lelah, dan akhirnya ia akan kembali ke sarang.

“Bebas itu menjalani hidup secara sekuler,  tidak mencampur adukan aturan agama dengan aturan kehidupan.Tetapi ada satu hal yang mengikat yaitu budaya. Jadi bebas itu artinya boleh bukan bisa.” Itu komentar follower saya

Saat pintu kehidupan lain kelak kita lewati, ternyata tetap ada pertanggungjawaban yang tidak mungkin dibebaskan oleh NYA. Perbuatan kita.

Don’t Judge A Book By its Cover

Namanya Wijana. Tutur katanya luar biasa. Baik lisan, maupun tulisan. Siapapun yang mendengar dia bicara, pasti membuat sekelilingnya akan terpancing untuk berkomentar.  Hiruk pikuk dan ramai, diakhiri dengan bertengkar. Sementara di sudut ruang, Wijana akan terpingkal dan bertepuk tangan sendirian.

Wijana kompor. Entah siapa yang memulai memberinya julukan itu. Karena memang hampir semua yang terucap dari bibirnya, mengandung provokasi. Kompor merupakan istilah konotasi , karena panas dan kerap meledak mengakibatkan kebakaran.

Wijana kompor si provokator. Pagi tadi aku duduk di hadapannya dengan secangkir teh. Tanpa rencana aku singgah di rumahnya karena hujan. Tiga jam waktu yang cukup membuat ku menyimpulkan, kutipan Don’t Judge A Book By its Cover itu bukan sekedar ucapan.

Kamis, 08 November 2012

Dari Balik Jendela

Police line membentang disepanjang jalan masuk rumah Tuan Carel. Polisi dan anjing pelacak sibuk menyusuri tiap jengkal halaman. Tuan Carel duduk sambil memeluk Yosephine, putri semata wayangnya yang baru duduk di bangku SMP. Rumah mereka baru saja terjadi musibah. Perampokan dan pembunuhan terhadap Nyonya Carel.

Menjelang tidur, Tuan Carel memeluk putrinya sambil menangis,

“Mari Nak, kita berdoa untuk Mami di surga, semoga Mami tenang di sana. Papi mencintai Mami mu, Yosephine. Andai Papi bisa tukar tempat dengan Mami.”

Dalam kegelapan, Yosephine mengelus belati di bawah bantalnya. Terbayang pagi tadi ia menyaksikan dari balik jendela kamar, Tuan Carel menampar Nyonya Carel dan merebut perhiasan lalu pergi. Papi akan menyusul Mami malam ini.

Pintu Belakang

Mencari rumah sewa petakan yang memiliki dua pintu, bukan perkara mudah. Kami sudah menyusuri tiap gang dan perkampungan, tidak ada kontrakan letter  i seperti itu. Namun istriku tetap ngotot, mau rumah yang ada pintu depan dan belakang

“Karena rumah bukan kaleng biskuit” alasan istri ku

Setelah mencari selama seminggu, akhirnya kami menemukan rumah yang dimaksud, walaupun harganya melebihi dari anggaran, tetap kami sewa. Yang penting istri ku senang.

Dinihari itu aku terbangun dengan dada sesak. Asap memenuhi ruangan. Istri ku tampak lemas. Terdengar jendela pecah dilempar batu. Api tengah melalap ruang depan. Dengan sisa tenaga, ku papah istri ku berjalan keluar lewat pintu dapur. Para tetangga sigap menolong. Kami selamat. Pingsan

Selasa, 06 November 2012

Kursi Indy


Tinggal dirumah kontrakan petakan, mau tak mau membuat ku hapal kebiasaan tetangga kanan kiri. Seperti halnya Mbak Iput, yang mendudukan Indy di kursi plastik depan pintu selagi ia bebenah rumah 


Pagi ini aku terkejut karena Indy merangkak nyaris masuk selokan kecil. Buru-buru ku gendong Indy sambil teriak. Mbak Iput keluar dan memeluk Indy. Kulihat lebam dibawah matanya. 


“Kursinya patah. Terima kasih ya?”


Aku paham. Tanpa penjelasan lebih lanjut, ku ambil Indy dari gendongan Mbak Iput


“Biar saya yang jaga, Mbak”


Setahun berlalu. Kini Indy tak perlu kursi lagi, karena ada aku yang menjaganya. Walau kadang kepayahan tapi aku senang, sebab Indy akan punya teman, yang selama sembilan tahun sudah kami tunggu

Ampas Kopi


Mazaya membuka ramalan tentang kekasih barunya melalui kopi. Kosong. Ia meneliti sekali lagi ampas kopi didalam cangkir. Tetap kosong, tidak ada lambang apapun yang bisa diartikannya. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. 


Dengan sabar Mazaya meladeni Boma bermain mobil-mobilan. Mulut Boma sibuk menirukan suara mainan yang dipegangnya. Tiba-tiba mobilan itu dilempar Boma penuh amarah. Boma menangis. Mazaya sontak memeluk dan menenangkan Boma, sampai kemudian Boma dituntun Mamanya masuk kamar.  Mazaya menitikan air mata


Sebulan lalu, sepulangnya mereka dari nonton, Boma kekasih baru Mazaya terserang stroke dan mengalami Alzheimer. Memori Boma hilang, kecuali saat ia masih Balita. Boma tak pernah lagi ingat Mazaya. Itulah mengapa Mazaya tidak bisa melihat Boma pada ampas kopinya