CURCOL

Curcol (20) fenomena (20) Fiksi (9) Opini (19)

Senin, 24 Desember 2012

Kisah Natal


Sedari saya kecil, saya sudah tahu kalau Santa Klaus itu nggak ada. Karena ini Indonesia. Santa Klaus kan kendaraannya kereta salju. Lah, mana mungkin lewat & mampir di Indonesia? Apalagi di Jakarta. Tapi ada satu hal yang saya sangat percaya, bahwa tiap Natal ada tradisi tukeran kado. Keyakinan saya makin bertambah, kalau Natal itu adalah waktunya mendapat hadiah dan memberikan hadiah pada orang-orang yang kita sayangi (di luar hari ulang tahun), karena lihat Film-film di TV dan dari buku-buku cerita seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, atau Trio Detektif yang saya baca.

Saya juga senang membayangkan menghias pohon natal, menaruh ornamen dan lampu-lampu kecil serta kapas-kapas di kaki pohon, yang menggambarkan bahwa itu salju. Lalu kado-kado tersebut bertumpuk di kaki pohon cemara hias. Namun khayalan saya suka terganggu dengan berjuta tanya, kenpa harus ada kapas yang menggambarkan seolah itu salju? Kenapa pohon cemara, bukan pohon yang lain? Nabi Isa A.S di lahirkan di Yerussalam, yang merupakan tanah arab, dan di sana tidak ada salju dan tidak ada pohon cemara. Berarti yang d hias mungkin harusnya pohon kurma? Dan di kaki pohon kurma harusnya di taburkan serutan kayu, seolah itu pasir. Bukankah tanah arab berupa padang pasir?

Saya juga suka berkhayal, bahwa Natal itu waktunya berkumpul seluruh keluarga, berdo'a bersama di tengah malam, dan berangkat ke Gereja bersama-sama pula, lalu besok paginya adalah waktu nya buka kado bersama, melihat hadiah apa yang kita dapat dari keluarga daaaan makan-makan tentu ^^,

Empat Tahun lalu, semuanya terwujud dan sekaligus merasakan bahwa apa yang saya bayangkan ternyataaaa , pada kenyataannya, -apalah namanya - TIDAK SEPERTI ITU. Tahun 2006, tepat di usia pertama anak saya, kami sekeluarga terbang ke Balikpapan, untuk merayakan Natal. Saya sudah membayangkan akan sibuk membungkus kado, doa , ke gereja, buka kado, dan makan bersama.

Tapi ...

Mama & Bapak mertua saya, ternyata beda agama. Mama Protestan, Bapak Katolik. Jadi saat Misa, Gereja mereka terpisah, meskipun di jam yang sama. Mereka memilih sore. Tapi kenapa kakak Ipar ku santai-santai aja?
"Besok pagi saja, yang jam 9, repot bawa anak kecil" jawab Kakak ipar saat saya  bertanya.
Dan adik ipar saya, sore itu tidak nampak di rumah. "oh, Dia nanti yang jam 12 malam, bareng muda mudi yang lain" jelas kakak ipar lagi. Sayamemandangi suami. Dia cuma senyam senyum. "Ya emang gitu" jawab Suami, seolah tahu apa yang saya fikirkan. Dan, tidak ada hadiah, tidak ada kado-kado ....

Sambil duduk, memandangi cemara Plastik yang usianya mungkin sudah 6 tahunan, aku seolah me REWIND semua bayangan tentang NATAL. 

Santa Klaus, Salju ... itu terjadi selama ber abad-abad karena budaya Eropa, secara perkembangan agama Nasrani pesat di Eropa. Tuker Kado . Yaaaa, itu memang mungkin terjadi, tapi di Film & di Novel anak-anak. Mungkin ada keluarga yang punya tradisi itu, saya tidak tahu, tapi yang pasti tidak di keluarga kami. Ke gereja bersama ... kalo saja waktu itu Mama sudah masuk Katholik, akan satu gereja dengan Bapak, dan Adik ipar pastinya memilih waktu ke Gereja yang jemaat nya seumuran (males kali yeee, bareng sama oma-oma dan opa-opa), sedangkan kakak ipar memilih waktu ke Gereja yang di sesuaikan dengan waktu semangatnya anaknya, yakni pagi.

Waktu saya kecil, jangankan bertandang saat Natal, mengucapkan Selamat Natal pun dilarang. Bersekolah di tempat yang gurunya sangat menafikan agama lain, terutama nasrani, membuat saya buta tentang semua nya, dan saya anggap tabu untuk bertanya. 

Tapi kini, bagi saya Natal sama saja dengan Idul Fitri . Sebuah hari yang suci bagi yang meyakininya, hari pengampunan bagi penganut nya, hari kembali Fitrah bagi umatnya dan hari saling memberi dan menerima Maaf di kudusnya Natal. Bukan soal Kado, bukan perkara Santa Klaus, bukan tentang salju.


SELAMAT HARI NATAL 



Meruya Utara, 2010

Sabtu, 22 Desember 2012

Bukan hari untuk ku


Siang itu sepulang sekolahnya, seperti biasa Umi terlihat sangat sibuk. Memeriksa buku-bukunya, mengecek tulisan dan tugas-tugasnya, dan tidak lupa melontarkan pertanyaan yang sama setiap harinya, “Ada PR nggak? Ibu guru bilang apa?”.

Acuh tak acuh, bocah lelaki 7 tahun itu hanya menjawab sambil mengangkat bahunya, “Nggak taaaau”.

Umi terlihat gusar. Sudah hampir enam bulan di kelas satu sekolah dasar, Darrel belum juga bisa diandalkan dalam menyampaikan pesan. Umi kemudian terlihat fokus pada ponselnya. Dikirimnya pesan pendek ke nomer Mama Alya, orang tua murid teman sekelas Darrel. Beberapa saat kemudian balasan muncul di layar Ponsel Umi. Ada PR, di buku tematik, halaman 30-31. Lalu Bahasa Inggris halaman 19.

Ada kelegaan di wajah Umi, kemudian Umi mengganti pakaian Darrel dan menyuapinya makan.

“Habis makan, istirahat sebentar, terus kerjakan PR ya?”

Darrel mengangguk.

“Habis ngerjain PR?” tanyanya.

“Bobo siang, baru boleh main.”

Darrel mengangguk lagi.

Umi beberapa kali mengeluh tegang mengahadapi Darrel, khawatir kalau-kalau Darrel tidak mampu mengikuti pelajaran, mengingat secara usia, Darrel memang belum waktunya masuk SD. Apalagi sebulan pertama, Ibu Guru Tarsilah wali kelas 1A mengatakan, Darrel termasuk 10 besar terbawah. 

Belum lagi didapati beberapa tugas yang harusnya diselesaikan di kelas dan dapat nilai, tidak ada dalam buku Darrel. Sekali dua kali, Umi mendatangi Ibu Guru Tarsilah untuk meminta nilai, tapi kemudian Ibu Guru tidak mau memberikannya, “Biar anaknya yang minta sendiri, belajar berani”. Kalau sudah begini, Umi biasanya uring-uringan sendiri.

Bila saatnya UTS dan UAS, Umi akan berpuasa, agar Darrel lancar menjalankan ujiannya. Umi juga memberi peraturan tegas pada Darrel, tidak ada nonton televis selama ujian. Buat Darrel sendiri, segala bentuk aturan yang diberikan padanya, acap kali ditentang. Bila sudah begini, biasanya Umi dan Darrel akan melangsungkan aksi saling diam.

Kemarin, penerimaan raport. Nilai Darrel sungguh melebihi harapan. Angka 8 dan 9 menghiasi kolom-kolom mata pelajaran. Walau tidak rangking, Darrel masuk kategori 10 besar DARI ATAS!

Menerima kabar itu, aku hanya bisa menitikan air mata. Haru, bahagia, dan malu. Darrel berhasil, bukan karerena aku Ibu nya. Darrel bisa, bukan karena Mominya. Aku orang tuanya, tidak berandil besar. Ini semua berkat Umi, neneknya.

Jikalah hari ini merupakan hari Ibu, rasanya belum pantas Darrel mengucapkannya untuk ku. Karena sebagai Ibu, aku bukanlah seperti Ibu yang di maksud dalam filosofi Hari Ibu. “Ibu” selama 7 tahun usia Darrel, sesungguhnya adalah milik Umi, neneknya.

Terima kasih Umi, telah menjadi Ibu bagi aku dan cucu mu. Maafkan Momi, Darrel – belum sempurna menjadi Ibumu sampai hari ini.






Meruya Utara, 22 Desember 2012