Sedari saya kecil, saya sudah tahu kalau Santa Klaus itu nggak ada. Karena ini Indonesia. Santa Klaus kan kendaraannya kereta salju. Lah, mana mungkin lewat & mampir di Indonesia? Apalagi di Jakarta. Tapi ada satu hal yang saya sangat percaya, bahwa tiap Natal ada tradisi tukeran kado. Keyakinan saya makin bertambah, kalau Natal itu adalah waktunya mendapat hadiah dan memberikan hadiah pada orang-orang yang kita sayangi (di luar hari ulang tahun), karena lihat Film-film di TV dan dari buku-buku cerita seperti Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, atau Trio Detektif yang saya baca.
Saya juga senang membayangkan menghias pohon natal, menaruh ornamen dan lampu-lampu kecil serta kapas-kapas di kaki pohon, yang menggambarkan bahwa itu salju. Lalu kado-kado tersebut bertumpuk di kaki pohon cemara hias. Namun khayalan saya suka terganggu dengan berjuta tanya, kenpa harus ada kapas yang menggambarkan seolah itu salju? Kenapa pohon cemara, bukan pohon yang lain? Nabi Isa A.S di lahirkan di Yerussalam, yang merupakan tanah arab, dan di sana tidak ada salju dan tidak ada pohon cemara. Berarti yang d hias mungkin harusnya pohon kurma? Dan di kaki pohon kurma harusnya di taburkan serutan kayu, seolah itu pasir. Bukankah tanah arab berupa padang pasir?
Saya juga suka berkhayal, bahwa Natal itu waktunya berkumpul seluruh keluarga, berdo'a bersama di tengah malam, dan berangkat ke Gereja bersama-sama pula, lalu besok paginya adalah waktu nya buka kado bersama, melihat hadiah apa yang kita dapat dari keluarga daaaan makan-makan tentu ^^,
Empat Tahun lalu, semuanya terwujud dan sekaligus merasakan bahwa apa yang saya bayangkan ternyataaaa , pada kenyataannya, -apalah namanya - TIDAK SEPERTI ITU. Tahun 2006, tepat di usia pertama anak saya, kami sekeluarga terbang ke Balikpapan, untuk merayakan Natal. Saya sudah membayangkan akan sibuk membungkus kado, doa , ke gereja, buka kado, dan makan bersama.
Tapi ...
Mama & Bapak mertua saya, ternyata beda agama. Mama Protestan, Bapak Katolik. Jadi saat Misa, Gereja mereka terpisah, meskipun di jam yang sama. Mereka memilih sore. Tapi kenapa kakak Ipar ku santai-santai aja?
"Besok pagi saja, yang jam 9, repot bawa anak kecil" jawab Kakak ipar saat saya bertanya.
Dan adik ipar saya, sore itu tidak nampak di rumah. "oh, Dia nanti yang jam 12 malam, bareng muda mudi yang lain" jelas kakak ipar lagi. Sayamemandangi suami. Dia cuma senyam senyum. "Ya emang gitu" jawab Suami, seolah tahu apa yang saya fikirkan. Dan, tidak ada hadiah, tidak ada kado-kado ....
Sambil duduk, memandangi cemara Plastik yang usianya mungkin sudah 6 tahunan, aku seolah me REWIND semua bayangan tentang NATAL.
Santa Klaus, Salju ... itu terjadi selama ber abad-abad karena budaya Eropa, secara perkembangan agama Nasrani pesat di Eropa. Tuker Kado . Yaaaa, itu memang mungkin terjadi, tapi di Film & di Novel anak-anak. Mungkin ada keluarga yang punya tradisi itu, saya tidak tahu, tapi yang pasti tidak di keluarga kami. Ke gereja bersama ... kalo saja waktu itu Mama sudah masuk Katholik, akan satu gereja dengan Bapak, dan Adik ipar pastinya memilih waktu ke Gereja yang jemaat nya seumuran (males kali yeee, bareng sama oma-oma dan opa-opa), sedangkan kakak ipar memilih waktu ke Gereja yang di sesuaikan dengan waktu semangatnya anaknya, yakni pagi.
Waktu saya kecil, jangankan bertandang saat Natal, mengucapkan Selamat Natal pun dilarang. Bersekolah di tempat yang gurunya sangat menafikan agama lain, terutama nasrani, membuat saya buta tentang semua nya, dan saya anggap tabu untuk bertanya.
Tapi kini, bagi saya Natal sama saja dengan Idul Fitri . Sebuah hari yang suci bagi yang meyakininya, hari pengampunan bagi penganut nya, hari kembali Fitrah bagi umatnya dan hari saling memberi dan menerima Maaf di kudusnya Natal. Bukan soal Kado, bukan perkara Santa Klaus, bukan tentang salju.
SELAMAT HARI NATAL
Meruya Utara, 2010